PENDAHULUAN
Gaya arsitektur post-modern muncul karena bentuk kritikan para arsitek pada masa 1970an yang menganggap arsitektur modern cenderung menggunakan gaya international style dan bentuk bangunan yang monoton. Gaya arsitektur modern yang dianggap telah mencemari kota-kota diseluruh duniadengan bentuk “kotak-kotak” dan “peti kayu” yang monoton, dan menciptakan prinsip fungsionalisme rasional yang membatasi bentuk bentuk arsitektur pada geometri abstrak, memuja kemajuan teknologi dan memandang arsitektur hanya terminologi fungsi saja (Ikhwanudin, 2004).
Menurut Jencks (1977) arsitektur posmodern memiliki makna double coding yaitu kombinasi antara teknik-teknik modern dengan sesuatu yang lain biasanya bangunan tradisional yang bertujuan untuk berkomunikasi dengan masyarakat dan kelompok minoritas tertentu. Arsitektur posmodern merupakan campuran dan turunan elemen-elemen yang saling bertentangan, seperti gaya historis dan kontemporer dan campuran antara seni tinggi dan budaya populer. Fungsi double coding pada bangunan posmodern adalah sebagai alat komunikasi para arsitek kepada pengguna dan arsitek lain, dan mencoba mengikatkannya dengan tradisi-tradisi sebelumnya (Jencks, 1977).
Namun di sisi lain Arsitektur Modern mengalami revisi secara evolusioner dengan nama Late Modern, sebagai reaksi terhadap tumbuhnya gerakan baru tersebut. Charles Jencks menyatakan bahwa Late Modernisme sebagai kelanjutan dari arsitektur modern, masih berlaku berdampingan dengan Arsitektur Post Modern (dengan futuristiknya). Late Modern juga adalah suatu fenomena yang terjadi, terbukti dari keberdaah karya-karya arsitekturnya. Pada dasarnya arsitektur Modern dan arsitektur Post Modern pada satu sisi dapat dipandang sebagai dua dunia yang terpisah, namun pada sisi lain dapat disatukan dalam hal-hal tertentu, sehingga batas antara keduanya tidak begitu jelas.
Bangunan Grand Royal Panghegar Bandung adalah contoh bangunan yang menggunakan kembali ornamen-ornamen terutama pada fasad bangunan yang dipadu padankan dengan gaya Arsitektur Modern. Hal ini merupakan bentuk tindakan yang merujuk pada arsitektur posmodern. Penerapan ornamen Art Deco yang dipadukan dengan gaya arsitektur modern memiliki makna double coding yaitu merupakan pengggabungan antara teknik modern dengan gaya lampau (ornamen Art Deco) (Jencks, 1977).
METODE
Metode yang dilakukan dalam penulisan ini menggunakan metode Literatur Review. Literatur review adalah sebuah metode yang sistematis, eksplisit dan reprodusibel untuk melakukan identifikasi, evaluasi dan sintesis terhadap karya-karya hasil penelitian dan hasil pemikiran yang sudah dihasilkan oleh para peneliti dan praktisi. Literatur review bertujuan untuk membuat analisis dan sintesis terhadap pengetahuan yang sudah ada terkait topik yang akan diteliti untuk menemukan ruang kosong bagi penelitian yang akan dilakukan.
Dengan menggunakan metode ini penulis akan mereview 3 jurnal yang berkaitan dengan arsitektur Post- Modern. Ketiga jurnal tersebut akan direview untuk mendapatkan kesimpulan mengenai arsitektur Post-Modern.
PEMBAHASAN
SEJARAH ARSITEKTUR POST-MODERN
Peristilahan Post Modern mulai diperkenalkan oleh Frederico De Onis, sebagai awal reaksi terhadap modernisme. Sebenarnya peristilahan ini muncul bermula dalam kalangan gerakan artistik, sebagai tanggapan yang reaktif dan mekanis terhadap adanya fenomena perubahan estetis yang menggejala didalam sendi-sendi kehidupan masyarakat saat itu, yang meliputi bidang-bidang seni, musik, drama, film, fiksi dan justru perkembanganya yang terakhir barulah ke dalam arsitektur. Dalam dunia arsitektur, pemikiran baru tersebut memberikan pengaruh yang besar kepada para arsitek untuk membangun daya kreasinya, terutama dengan ditunjang oleh adanya penemuan teknologi dan bahan yang timbul bersamaan dengan kebangkitan Revolusi Industri. Setelah berpendar-pendar lebih kurang setengah abad, agaknya binar arsitektur modern tersebut mulai meredup dan memudar seiring timbulnya rasa kejenuhan terhadap nilai logis dan rasional dalam falsfat modern yang telah banyak mendatangkan kritik dari penganut filsafah dan ideologi yang memberontak terhadap nilai-nilai yang dianggap terlalu mapan dan dogmatis. Mereka merasa bahwa sekarang bukan masanya lagi untuk mempertahankan kebuntuan dari harapan-harapan muluk yang didengung-dengungkan oleh modernitas.
Pada tahun antara 1960 dan 1970, gerakan Arsitektur Modern (Modern Movement) binarnya mulai memudar. Bisa dikatakan Arsitektur Modern menjelang ajalnya, setelah sempat bertahan selama tiga generasi, dengan melalui perkembanganya, yaitu; Early Modernism, High Modernism, Late Modernism (Trachtenberg. et,al, 1987). Ajal Arsitektur Modern benar-benar sampai bersamaan dengan dirobohkannya sebuah bangunan PruitIgoe Housing di St. Louis, negara bagian Missouri, Amerika Serikat tepatnya pada tanggal 15 Juli tahun 1972, jam 15:32 (Jenk, 1984). Kejadian ini disebar-luaskan melalui siaran Televisi keseluruh dunia. Sebuah gedung perumahan berlantai 12 pada sebuah proyek perumahan publik. Suatu "crisis ghetto" kulit hitam telah dihancurkan bukan oleh kelompok kaum terorris ataupun orang kulit hitam yang frustrasi tetapi oleh Departemen Perumahan dan Pengembangan Kota, Pemerintah Amerika Serikat.
Peristiwa dihancurkannya Pruit-Igoe inilah yang kemudian dijadikan sebagai simbol berakhirnya Arsitektur Modern, yang terlahirkan pada tahun 1890-an. Karena dengan kegagalan bangunan tersebut seakan menjadi sebuah pembuktian bahwa filosofi dan teori Arsitektur Modern memang sudah tidak relevan lagi berdasar tuntutan perubahan zaman. Doktrin-doktrin seperti "rasionalism", "behaviorism”, dan "pragmatism" yang menjadi dasar pertumbuhan Arsitektur Modern sesungguhnya memang sudah tidak rasional lagi.
Dalam bidang arsitektur sendiri, sebenarnya ada anggapan yang berupa kritik Arsitektur Modern yang ada selama ini seakan-akan membujuk dan memberikan suatu keyakinan tetapi tidak berusaha untuk mengerti dan untuk menafsirkan, kaku dan ingin universal. Lama kelamaan ini mmbuat orang menjadi jenuh dan jemu. Post Modern adalah suatu usaha untuk berusaha memperbaiki dan mencari sebab dari kejenuhan tersebut, tetapi banyaknya informasi yang ingin disampaikan mengakibatkan timbulnya eklektisisme yang semakin kompleks.
Eklektisisme yang timbul dalam Post Modern disebabkan adanya keinginan yang besar untuk memadukan berbagai unsur, terutama memadukan antara yang tradisional dengan yang non-tradisional, perpaduan antara yang lama dan baru. Di dalam masyarakat tradisional memadukan dua unsur ini tidaklah terlalu sulit, karena mereka punya bahasa arsitektur yang sama.
KELAHIRAN ARSITEKTUR REGIONAL
Ciri utama arsitektur postmodern adalah Double coding yaitu prinsip arsitektur postmodern yang memuat tanda, kode dan gaya yang berbeda dalam suatu konstruksi bangunan, merupakan campuran ekletis antara tradisional/modern, populer/tinggi, Barat/Timur, atau sederhana/complicated. Karakteristik arsitektur postmodern lebih mengutamakan: elemen gaya hibrida (ketimbang yang murni), komposisi paduan (ketimbang yang bersih), bentuk distorsif (ketimbang yang utuh), ambigu (ketimbang yang tunggal), inkonsisten ketimbang yang konsisten), kode ekuivokal (ketimbang yang monovokal). Prinsip arsitektur postmodern yaitu prinsip kontekstualisme berarti adanya pengakuan bahwa gaya arsitektur suatu bangunan selalu merupakan bagian fragmental dari sebuah gaya arsitektur yang lebih luas. Prinsip allusionisme berarti adanya keyakinan bahwa arsitektur selalu merupakan tanggapan terhadap sejarah dan kebudayaan, sementara prinsip ornamental berarti pengakuan bahwa bangunan merupakan media pengungkapan makna-makna arsitektural. Sifat arsitektur postmodern : Hibrida, Kompleks, Terbuka, Kolase, Ornamental, Simbolis, humoris. Arsitektur postmodernisme, menawarkan konsep bentuk asimetris, ambigu, naratif, simbolik, terpiuh, penuh kejutan dan variasi, ekuivokal, penuh ornamen, metafor serta akrab dengan alam (Andy Siswanto).
Post-Modern adalah arsitektur hibrida. Jencks dalam The Journal of Architectural Theory and Criticism Volume I, menyatakan bahwa arsitek posmodernis mengklaim bangunannya berakar pada tempat dan sejarah. Berbeda dengan arsitektur modern, mereka kembali kepada perbendaharaan ekspresi arsitektural masa lalu, seperti penggunaan ornamen, simbol, humor, dan konteks kota. Sebagai contoh, Humania Building karya Graves dan Neue Staatsgalerie karya Stirling yang menyadarkan pada konstruksi modern dan memori historis, sebuah hibrid yang juga mendorong pada ekletisme dan ironi. (Jencks dalam Ikhwanudin, 2004).
Studi kasus bangunan yang menggunakan arsitektur post-modern ini mengambil bangunan Hotel Grand Royal Panghegar yang berlokasi di kota Bandung. Pemilik hotel Grand Royal Panghegar menginginkan sebuah hotel yang konteks dengan bangunan-bangunan Art Deco disekitarnya. Art Deco sebagai langgam arsitektur bangunanbangunan bersejarah di kota Bandung dirasa penting untuk tetap dipertahankan eksistensinya. Konsep Art Deco diharapkan bisa menjadi daya tarik bagi pengunjung untuk menginap dan tinggal di bagunan yang sekarang menjadi salah satu hotel pariwisata yang ada di kota Bandung. Berangkat dari keinginan owner, arsitek memberikan solusi desain bangunan posmodern yang tercipta dari penggabungan arsitektur Art Deco dengan arsitektur modern (Endar, 2012).
Gambar 4 : Grand Royal Panghegar(sumber: www.scrappercity.com 4 Januari 2013)
Fasad Grand Royal Panghegar didesain dengan semangat memunculkan kembali gaya Art Deco sebagai karakteristik bangunan-bangunan yang ada di Kota Bandung. Ornamen Art Deco bisa ditemukan pada sebagaian besar fasad bangunan Grand Royal Panghegar,baik itu podium, badan bangunan, sampai kepala bangunan semuanya tidak terlepas dari sentuhan ornamen Art Deco. Grand Royal Panghegar banyak mengeksplor karakter Art Deco dari bangunan-bangunan bersejarah yang ada di Kota Bandung dan juga beberapa bangunan Art Deco yang ada di dunia.
Gambar 4.35: Podium GRP Sumber: :http://apcinstitute.files.wordpress.com, diaksestanggal 3 januari 2013
Ornamen Art Deco pada pilar terlihat sangat jelas dan cepat dimengerti oleh orang pada saat pertama kali melihatnya. Kontekstual jelas terlihat dengan penggunaan ornamen Art Deco pada pilar hotel Grand Royal Panghegar. Terdapat manipulasi terhadap bentuk geometris subtractive yang biasanya di terapkan pada dinding dan bukaan bangunan. Pada Grand Royal Panghegar bentuk geometris subtractive digunakan untuk mendekorasi kolom. Langgam Art Deco menunjukkan adanya kontekstualisme pada Grand Royal Panghegar dengan lingkungan sekitar yang banyak didominasi oleh bangunan-bangunan bersejarah yang memiliki langgam Art Deco. Salah satu contohnya adalah unsur jendela pada Gedung setasiun Ketreta Api Bandung yang memiliki kemiripan dengan jendela pada Grand Royal Panghegar.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan bangunan Grand Royal Panghegar memiliki kesamaan dengan arsitektur posmodern, diantaranya memiliki makna double codding yang terlihat dari adanya kombinasi antara teknik modern dengan sesuatu yang lain (sejarah). Beragam ornamen Art Deco dapat dilihat pada bangunan grand Royal Panghegar baik yang diterapkan secara jelas ataupun yang mengalami modifikasi bentuk.
KESIMPULAN
Arsitektur post-modern tercipta karena kejenuhan para arsitek melihat gaya arsitektur modern yang monoton karenea menggunakan international style sehingga akan menghilangkan nilai kelokalan atau ciri khas dari suatu daerah tersebut. Oleh karena itu lahirlah arsitektur post-modern yang memiliki sifat double codding yaitu posmodernis mengklaim bangunannya berakar pada tempat dan sejarah. Prinsip kontekstualisme berarti adanya pengakuan bahwa gaya arsitektur suatu bangunan selalu merupakan bagian fragmental dari sebuah gaya arsitektur yang lebih luas.
DAFTAR PUSTAKA
Adam, J., & R, R. S. (2014, Januari). Kajian Desain Fasad Baru Grand Royal Panghegar. Jurnal Reka Karsa, No. 4, Vol. 1, 11.
Gartiwa, M., & Wijaya, A. (2006). Polarisasi Arsitektur Modern dan Post Modern. Jurnal Ilmiah Arsitektur UPH, Vol. 3, No. 1, 20.
Syarief, R. (Desember 2012). Regionalisme Dalam Kondisi Post-modern. Arsitektur Post Modern, No. 3, Vol. 1, 18.